Beberapa tahun belakangan, seringkali kita membaca dan melihat di media tentang sengketa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) termasuk merek (trademark). Bisa jadi sengketa merek muncul lantaran beberapa hal, antara lain karena pengusaha tidak segera mendaftarkan mereknya sehingga dimanfaatkan pihak lain, kelalaian Ditjen HKI karena tanpa sengaja mensahkan suatu pendaftaran merek yang mempunyai kemiripan dengan merek terdaftar lain, ataupun sengketa yang disebabkan adanya pihak beritikad tidak baik yang dengan sengaja mendaftarkan merek-merek terkenal/menguntungkan, untuk tujuan mendompleng kepopuleran ataupun mencari kompensasi uang/ganti rugi di kemudian hari. Walaupun secara umum pendaftar pertama akan mendapatkan perlindungan hukum, namun itikad baik dalam suatu pendaftaran merek merupakan syarat yang harus dibuktikan pemenuhannya. Ujung-ujungnya, proses pengadilanlah yang menjadi penentu siapa yang sebenarnya berhak menggunakan merek tersebut.
Bambang Pram Said dari firma hukum Said, Sudiro & Partners, mengatakan bahwa kasus sengketa merek seringkali terjadi disebabkan adanya pihak tertentu yang mengambil kesempatan untuk mencari kompensasi/uang ganti rugi dikemudian hari, dengan cara mendaftarkan merek-merek yang sudah dikenal umum masyarakat. Bambang kini tengah menangani beberapa perkara HKI, antara lain perkara sengketa merek yang sedang dihadapi kliennya yakni PT. Puri Intirasa pemilik restoran ”Waroeng Podjok” yang telah lama beroperasi di mal Pondok Indah, Pacific Place, Plaza Semanggi dan beberapa mal lainnya.
Menurut Bambang, sengketa merek kliennya dengan pihak Rusmin Soepadhi diawali dengan adanya somasi kepada kliennya serta peringatan terbuka di harian umum oleh pihak Rusmin sebagai pendaftar merek ” warung pojok”. Atas dasar itu serta hasil penelitian bahwa pihak Rusmin baru melakukan pendaftaran tahun 2002 setelah ”Waroeng Podjok” dikenal umum dan terindikasi adanya pendaftaran tanpa itikad baik, pihak Waroeng Podjok milik PT. Puri Intirasa yang diwakilinya melayangkan gugatan pembatalan merek melalui Pengadilan Niaga.
Bambang mengatakan, pihaknya melayangkan gugatan ke pihak Rusmin bukan tanpa alasan, lantaran antara lain karena kliennya sudah mengoperasikan restoran dengan nama ”Waroeng Podjok” sejak tahun 1998 dan dapat dibuktikan dengan adanya Surat Setoran Pajak pada Dinas Pendapatan Daerah sejak tahun 1999. Klien kami juga dapat membuktikan adanya Surat Keputusan pengukuhan pajak dari Kepala Dinas Pemerintahan Daerah pada tahun 1999.
Akhirnya dalam proses pengadilan terbukti bahwa PT Puri Intirasa merupakan pihak yang terlebih dulu membuka usaha dengan nama “Waroeng Podjok”. Sehingga tuntutan pihak Rusmin terhadap PT Puri Intirasa agar tidak menggunakan nama ”Waroeng Podjok” serta membayar ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp 6 miliar, seluruhnya ditolak pengadilan dengan salah satu pertimbangan bahwa PT Puri Intirasa telah lebih dahulu melakukan usaha restoran dengan nama ”Waroeng Podjok”.
Bambang melanjutkan, meskipun gugatan balik pihak Rusmin seluruhnya ditolak Majelis Hakim, terasa masih ada yang menggantung, yakni Majelis Hakim belum memerintahkan mencabut pendaftaran merek “Warung Pojok”. Apabila nama itu memang dianggap sudah ada dari masa ke masa yang artinya sudah dianggap milik umum, maka semestinya Pengadilan memerintahkan pencabutan pendaftaran merek tersebut agar tidak menjadi monopoli pihak pendaftar saja, dan pihak lain dapat menggunakannya.
Bahkan dalam proses persidangan terungkap bahwa sejak pendaftarannya pada tahun 2002 nama “Warung Pojok” tidak pernah digunakan oleh pihak Rusmin. Baru pada awal tahun 2008, tidak lama sebelum mengajukan somasi dan peringatan terbuka di harian umum pihak Rusmin menggunakan nama itu untuk restorannya yang baru dibuka. Berdasarkan ketentuan pasal 61 ayat 2 a UU Merek semestinya Ditjen HKI menghapus pendaftaran merek tersebut karena telah tidak digunakan lebih dari tiga tahun sejak pendaftarannya.
referensi: http://indocashregister.com/2009/01/02/kasus-sengketa-merek-waroeng-podjok-vs-warung-pojok-mesinkasir/
Tanggapan:
Pelanggaran Hak kekayaan Intelektual semakin marak terjadi belakangan ini. Sengketa merek dapat terjadi karena pengusaha tidak segera mendaftarkan merek dagang produksinya sehingga dapat dimanfaatkan pihak lain. Banyak pihak yang mendaftarkan merk dagang terkenal untuk mendompleng popularitas maupun mengambil keuntungan dari perusahaan tersebut.
Kasus sengketa merek yang terjadi diatas sudah tepat karena pihak tergugat melayangkan gugatan pembatalan merek melalui Pengadilan Niaga. Hal ini dikarenakan pihak tergugat dapat menunjukan bukti-bukti bahwa perusahaan tersebut yang memiliki merek dagang dengan nama tersebut terleih dahulu. Hasil putusan pengadilan juga sudah tepat yang memenangkan pihak tergugat dikarenakn bukti-bukti yang dimilikinya. Namun sepestinya pengadilan memerintahkan pencabutan pendaftaran merek tersebut karena berdasarkan ketentuan pasal 61 ayat 2 a UU Merek semestinya Ditjen HKI menghapus pendaftaran merek tersebut karena telah tidak digunakan lebih dari tiga tahun sejak pendaftarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar